Pernah ada di masa di mana jalan-jalan bukan mengejar nyaman atau cerita, melainkan bisa mendatangi berbagai lokasi dalam waktu singkat dan biaya semurah-murahnya. Walhasil, terwujudah sebuah perjalanan kebut dua hari wisata keliling Yogyakarta.
Sebenarnya, cerita perjalanan ini sudah berkali-kali Ka Acha
singgung dalam potongan cerita perjalanan di Taman Rahasia Cha. Tentang sebuah
perenungan akan makna menjadi traveler, dan akhirnya mengubah saya menjadi pejalan
yang jarang jalan-jalan.
Dulu itu … nggak tahu kesambet apa ya, waktu diajak short
trip ke Yogyakarta, saya ya ayok saja tanpa mencari tahu sebenarnya tujuannya
akan ke mana. Lagipula momen jalan-jalannya sama teman-teman semasa kuliahnya
si partner. Dijamin seru pastinya.
Lalu … destinasi wisata Yogyakarta mana saja sih yang sukses
saya sambangi bersama teman-teman seperjalanan ini?
Museum Ullen Sentalu
Selepas sarapan Nasi Uduk Jakarta – demi apa kalau diingat
tuh, Ka Acha auto ngakak … kan kami dari Jakarta, sampai Jogja malah makannya
menu Jakarta juga – dengan motor sewaan, kami beriringan menuju ke arah putaran
kampus Universitas Gadjah Mada (UGM).
Di sana, kami berjumpa dengan duo gadis yang jarak usianya
beda tipislah dengan kami yang juga belum lama lulus kuliah ini. Keduanya akan
menjadi pemandu kami pada hari itu.
Semacam konvoi, kami menuju arah Kaliurang. Destinasi
pertama tentu saja wisata edukasi. Maka Museum Ullen Sentalu yang harga tiket
masuknya termasuk lumayan itu, jadi plihan. Apalagi kan masuk ke dalam pun
selalu disediakan tour guide.
Sepanjang tour
keliling museum dengan paket terhemat, saya diajak mengenal tentang budaya
membatik khas Jawa. Berbagai motif kain batik, alat musik tradisional, sampai
berkenalan dengan sosok Gusti Nurul.
Beliau memiliki nama lengkap Gusti Raden Ayu Siti Noeroel
Kamaril Ngasarati Kusumawardhani. Seorang putri tunggal dari Kanjeng Gusti
Pangeran Adipati Aryo Mangkunegoro VII dengan permaisurinya, Gusti Kanjeng Ratu
Timoer.
Menurut cerita, Gusti Nurul ini punya paras cantik dan ia
juga merupakan sosok gadis cerdas. Banyak tokoh yang terpikat padanya. Mulai
dari Sutan Sjahrir, Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Gusti Pangeran Harjo
Djatikoesoemo, bahkan sang bapak proklamator Soekarno.
Sayang, mereka semua ditolak. Alasannya, Gusti Nurul enggan
dimadu. Ia berstatus istri yang dipoligami.
Kemudian Gusti Nurul pun menikah dengan seorang perwira yang
kala itu berpangkat letnan kolonel. Raden Mas Soerjo Soejarso, namanya.
Bukan hanya itu saja. Di penghujung sesi berkeliling museum
Ullen Sentalu, saya disuguhi segelas jamu kesukaan Gusti Nurul, katanya. Jamu
Beras Kencur yang rasanya enak, apalagi disajkan dingin setelah lelah diajak
berkeliling.
Sejak mengunjungi Ullen Sentalu di kala itu, pandangan Ka
Acha pada kain nusantara jadi berbeda. Saya yang sukanya pakai pakaian polosan,
jadi belajar sedikit banyak tentang kekayaan wastra nusantara. Bahkan, saya
pernah menulis rasa penasaran saya pada kain
lantung khas Sumatra di blog ini, bertahun kemudian selepas kunjungan ke
Ullen Sentalu.
Tak banyak foto yang saya bawa pulang. Ada aturan khusus
bagi pengunjung Ullen Sentalu untuk nggak mengambil gambar apapun di bagian
dalam museum.
The Lost World Castle Jogja
Berjarak sekitar setengah lebih sedikit jam saja, konvoi
kami sudah sampai ke destinasi kedua selepas dari Museum Ullen Sentalu. Sebab
niat jalan-jalan kami banyak momen berfotonya, walhasil motor-motor kami
terparkir di area parkir wisata The Lost World Caste.
Kami sempatkan untuk mampir shalat dzuhur sebentar di sebuah
mushola yang kami temukan secara random di tengah perjalanan. Hari itu, letih
akibat duduk manis cukup lama dalam kereta kelas ekonomi Bengawan jurusan Pasar
Senen - Lempuyangan, masih tersisa.
Jadilah, tak semua rekan seperjalanan ikut masuk ke dalam.
Hanya beberapa dan tentu saja Ka Acha ikut serta. Sayang saja rasanya, sudah
jauh-jauh main ke Yogyakarta, kalau ujungnya hanya duduk santai sambil makan
gorengan di parkirannya doang.
Dengan harga tiket masuk yang sebenarnya nggak mahal-mahal
amat, durasi saya dan partner ada di dalam tentu cukup singkat. Berkeliling
sebentar. Lalu, jepret. Keliling sedikit lagi. Jepret lagi.
Ya, begitu saja terus. Sampai kami berdua menyadari kalau
waktu berkeliling kami sudah cukup lama di sini, sementara beberapa teman
lainnya tentu menunggu kami.
Candi Plaosan Lor
Hari jelang senja ketika akhirnya si partner memarkir motor
sewaan kami kawasan parkir dari Candi Plaosan. Sebenarnya, jarak dari The Lost
World Castle ke Candi Plaosan Lor ini nggak butuh waktu lama.
Plaosan Lor merupakan suatu candi peninggalan kerajaan
Mataram Kuno, dan lokasinya masuk dalam kecamatan Prambanan. Iya memang dekat
banget sama daerah wisata
Candi Prambanan.
Candi Plaosan merupakan sebuah candi Buddha. Candi yang
dibangun oleh Rakai Pikatan untuk permaisurinya, Pramudyawardani. Sebuah candi
yang memadukan unsur Hindu dan Buddha.
Sore itu, saat tiba, keadaan terbilang cukup sepi. Sayang
sekali, nggak ada tour guide yang bisa kami sewa jasanya. Akhirnya ya
berkeliling dan berfoto sana-sini saja. Padahal, bila ada pemandu kan,
kemungkinan akan ada banyak sekali cerita sejarah yang bisa saya bawa pulang.
Jelang langit makin nampak kemerahan, tentu karena lokasi
wisata ini juga akan segera tutup pada jam 5 sore, kami semua memutuskan untuk
sebentar saja jalan-jalan ke daerah Kotagede. Tapi payahnya sepanjang
berkeliling saya malah nggak mengeluarkan ponsel sama sekali. Akhirnya saat
menulis cerita ini, cukup sedih juga karena nggak punya dokumentasi.
Kotagede
Berhubung ada pengantin baru dalam rombongan kami,
perjalanan spesial dilanjutkan ke Kotagede. Tujuannya, tentu saja untuk membeli
cinderamata perak.
Sadar dua sejoli teman dekat si partner saya ini butuh
privasi, kami melipir ke tujuan masing-masing dengan tujuan beli oleh-oleh
tentunya. Sebab Ka Acha di kala itu nggak terlalu tertarik dengan cinderamata
perak, akhirnya masuklah ke sebuah toko random dan membeli jas hujan di sana.
Sepanjang di boncengan tadi, saya mendapati langit
Yogyakarta yang nampak digelayuti mendung. Sementara kami semua belum
mempersiapkan jas hujan satupun.
Benar saja, saat perjalanan dengan tujuan kawasan Malioboro,
hujan mengguyur deras. Beberapa kali saya dan si partner harus menepi,
menyelamatkan diri dari curahan air langit.
Sadar kami sudah berjarak cukup jauh dari rombongan, saya
dan si partner sepakat untuk kembali ke rumah sewa yang kami jadikan
penginapan. Masih ada perjalanan panjang esok hari, saya nggak mau ambil risiko
kalau kami berdua masuk angin. Besok tujuan kami bukan hanya ke Puncak Becici,
tapi juga ke Pantai Parang Kusumo.
Puncak Becici Yogyakarta
Di pagi hari kedua, saya dan partner sepakat untuk nggak
makan menu Nasi Uduk Jakarta lagi. Kami berputar mengelilingi komplek
perumahan, hingga di suatu gang yang entah namanya apa dan menuju ke mana, kami
jumpa dengan warung Soto Lamongan. Kurang anomali apa coba, kami ini?
Benar-benar main ke Jogja tapi sarapannya menu Jawa Timur.
Selepas sarapan dan bersantai sebentar menunggu hari sedikit
siang, perjalanan konvoi kami dimulai kembali. Puncak Becici jadi tujuan, kali
ini.
Mengunjungi destinasi wisata Puncak Becici Jogja tentu
tujuannya adalah trekking tipis-tipis ala-ala. Lokasi yang pas sekali untuk
memuaskan hasrat kami untuk berpose dan membawa pulang foto yang bisa di-upload ke social media sebanyak-banyaknya.
Namanya juga main ke lokasi wisata alam di salah satu sudut
Yogyakarta kan ya. Mata serasa dimanjakan oleh hijau dan sejuknya pemandangan
dari ketinggian. Puas sekali rasanya bisa menghirup udara di kawasan Puncak
Becici dalam-dalam.
Hari itu, beruntung langit sedang cukup bersahabat. Nggak
ada hujan yang turun. Namun tanah di sekitaran masih cukup licin akibat hujan
di malam sebelumnya. Jadilah, saya berkali-kali harus memperhatikan langkah
sepanjang mengekori teman-teman.
Wisata Hutan Pinus Mangunan
Sudah puas main di kawasan wisata Puncak Becici bahkan
menyempatkan diri untuk makan mie instan ditemani segelas teh tawar hangat demi
isi energi lagi, kami kembali menuju lokasi wisata yang jaraknya memang
berdekatan. Hutan Pinus Mangunan yang kami sambangi kemudian.
Populer sebagai lokasi foto, tentu saya dan si partner nggak
melewatkan kesempatan dengan cukup banyak mengambil gambar. Sedikit sesal sih,
saat itu saya belum berhasil punya kamera yang proper.
Koleksi foto yang dipunya pun seluruhnya ter-capture dalam
memori ponsel lama yang masuk kategori hape jadul nih kalau sekarang. Tapi Ka
Acha cukup bersyukur. Paling nggak, main ke Hutan Pinus Mangunan jadi lokasi
favorit saya kala itu.
Di sini, kami semua menyempatkan diri untuk makan pagi
jelang siang alias sarapan sesi kedua. Kami duduk melingkar dalam sebuah warung
yang sekujur bangunannya terbuat dari bambu. Bersama sepoi angin jelang siang,
semangkuk mie instan spesial pakai telur, menjadi fokus kami masing-masing.
Lalu, ditutup oleh teh hangat.
Pantai Parangkusumo
Puas main di gunung, saatnya main ke pantai. Jika dihitung
waktu tempuhnya dengan kendaraan roda dua, hanya butuh waktu kurang lebih satu
jam saja. Pantai Parangkusumo adalah tujuan kami.
Bagian ini adalah perjalanan yang paling buat saya awas dan
waspada. Jalan yang dilalui cukup lengang tapi didominasi oleh kendaraan besar
macam bus antar kota antar provinsi. Saya cuma bisa memperbanyak istigfar,
sementara si partner terus tancap gas dan fokus pada jalan. Duo gadis yang jadi
pemandu kami berani ngebut sekali. Gawat kalau kami sampai ketinggalan
rombongan.
Pantai Parangkusumo dikenal dengan legenda Nyi Roro Kidul.
Menurut cerita, pantai inilah yang jadi pintu gerbang utama menuju Kerajaan
Selatan.
Saya tentu hanya main air tipis-tipis saja di sini.
Membiarkan kaki saya yang telanjang, berjumpa langsung dengan hempasan buih
bersama air laut selatan yang dibawa ombak. Itu pun nggak lama, sebab perut
mulai minta diisi makan berat.
Siang itu, kawasan Pantai Parangkusumo cukup sepi. Walhasil
kami semua berpencar dan berpose sesuka hati.
Jelang benar-benar tengah hari, perut yang mulai lapar lagi
membawa kami berpindah ke sebuah warung makan berjarak sekitar sepuluh menit
perjalanan. Lokasinya tak jauh dari Pasar Ikan Laut Depok.
Pasar Ikan Laut Depok
Kunjungan ke Pasar Ikan Laut Depok ini bermula dari
kebijakan pemilik warung yang nggak menyediakan protein hewani khas pantai
segar di warungnya. Pengunjung yang datang diminta untuk membeli sendiri segala
rupa ikan yang ingin dinikmati di Pasar Ikan Laut Depok yang memang jaraknya
cukup dihampiri dengan berjalan kaki.
Ka Acha sudah pernah cerita belum ya, kalau saya di sini
mencicipi sup ikan hiu? Sajian kuliner yang nggak pernah saya duga sebelumnya.
Soalnya ya pahamnya, kalau ke Jogja pastilah cari
wedhang ronde di Alun-Alun Selatan saja. Entah kenapa di perjalanan kali
ini, menu makanannya aneh-aneh semua. Faktor teman seperjalanan nih kayaknya.
Hahaha ….
Bermula dari si partner yang menemukan anak ikan hiu yang
dijual di Pasar Ikan Depok ini. Akhirnya, ya dia beli dan dibawakan ke warung
makan yang bersedia mengolahkan semua belanjaan kami hari itu.
Waktu berlalu. Saya pun menyesal, kini. Dulu nggak paham
kalau walau namanya hewan laut itu halal dimakan, ya tapi kan hiu ini biota
laut yang terancam punah. Maka sebaiknya nggak ikut dikonsumsi kan ya. Tapi
memang masih saja ada nelayan yang menangkapnya.
Rasanya seperti apa? Waktu itu ya, lidah saya mendapati
rasanya yang biasa saja. Lebih yummy ikan tongkol malah. Cenderung tawar dengan
daging yang termasuk lembut sih.
Siang itu, di saung warung yang kami hampiri, kami
beristirahat lama sekali. Angin sepoi dari arah pantai, perahu nelayan yang
ditambat tak jauh dari lokasi kami berada, aroma amis segar khas laut, ah …
kenangan yang menyenangkan.
Hal-hal begini yang sekarang malah bikin saya kangen suasana
pantai. Aroma serupa yang kemudian saya hidu juga ketika mencari
sunrise di Pantai Timur Pangandaran.
Hari itu, kami menutup pertualangan kebut dua hari wisata
keliling yogyakarta dengan kunjungan ke kawasan pantai. Sepulang dari sana,
beberapa teman ada yang kembali memutuskan untuk menuju kawasan Malioboro demi
berbelanja oleh-oleh.
Ka Acha dan partner pun demikian. Namun kami lebih memilih
untuk melakukannya esok paginya, sebelum kami harus bersiap naik kereta dengan
tujuan Pasar Senen lagi di siang jelang sore hari.
Kini di usia Ka Acha yang sudah beranjak dari dua puluhan,
rasanya saya akan memilik destinasi wisata yang banyak tenangnya. Belum ada
rencana lagi untuk menyambangi destinasi wisata secara maraton, mengulangi
momen kebut dua hari wisata keliling Yogyakarta begini. Mungkin … lain kali, di
kota atau kabupaten yang berbeda.
Wah pas ke sana kunjungin tempat-tempat ini juga, seru semua tempatnya dan pengalaman serunya pas ke Castle WOrld itu kita kesasar sampai ke hutan-hutan yang ga jelas mana sudha sore pula
BalasHapusWah..komplit nih wisatanya..dari gunung, laut, budaya dll.. Aku blm pernah ke ulen sentanu, semoga bisa ke sana juga kapan2
BalasHapusWahh biasanya kalo di Jogja sarapannya nasi gudeg ya, tapi kak Acha malah makan nasi uduk dan soto Lamongan. Berarti emang makin banyak pilihan warung di sana.
BalasHapusBeberapa kali ke Jogja dan belum puas eksplor kotanya. Penasaran ama museumnya, dan aku pernah lihat foto Gusti Nurul emang cantik bangeeet.
Wah lumayan ngebut juga ya Itinerary jalan-jalan di Jogjakarta karena memang di Jogja banyak sekali destinasi wisata yang amat beragam mulai dari kuliner, Budaya, sejarah, alam dan banyak lagi. tapi yang benar-benar ciri khas memang candi dan juga museum-museum seperti Ulein sentalu ini yang keren banget
BalasHapusWah kapan ya aku bisa ke jogja lagi biar bisa mengunjungi tempat-tempat ini
BalasHapus