pada tanggal
Travel
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Jodoh pasti bertamu. Kalimat ini berkali-kali muncul dalam benak saya sepanjang membaca novel Once in a Moon yang ditulis oleh Mutia Ramadhani. Kisah romansa yang diawali dengan sayatan ngilu dari keadaan rumah-tangga yang ternodai oleh salah satu orang di dalamnya.
Hhh ... entah berapa kali saya menghela napas ketika berkenalan dengan tokoh Kaluna di awal cerita. Di sisi lain, saya menemukan pengalaman mengenai para pekerja di bidang konservasi alam dan lingkungan, termasuk selipan pengetahuan sepanjang membaca.
Sementara itu, sepasang gajah dan penampakan bulan purnama di bagian cover bukunya, menjadi pembuka atas segala pertanyaan saya sepanjang mengikuti setiap jejak kehidupan Kaluna. Kenapa sih ada sepasang gajah yang bersama di bawah purnama di sampul bukunya? Hubungannya apa dengan isi novelnya?
Judul : Once in a Moon
Penulis : Mutia Ramadhani
Penerbit : One Peach Media
Cetakan : September 2024
Tebal : 386 halaman
ISBN : 978-623-483-273-0
Kaluna selalu menemukan kedamaian dalam cahaya bulan, satu-satunya saksi bisu dari rasa sakit yang dia sembunyikan. Dikhianati oleh cinta yang dia percayai hingga didiagnosis chusing syndrome, Kaluna merasa dunia telah meninggalkannya dalam kegelapan abadi.
Ketika Kaluna merasa tak ada lagi yang bisa mengerti hatinya, dia bertemu dengan Saga, seorang fotografer dengan tatapan dalam seperti malam yang penuh misteri. Sama seperti Kaluna, Saga juga memiliki masa lalu yang penuh luka, juga rahasia. Mereka berbagi cerita, mimpi dan ketakutan, menemukan bahwa cinta bisa lahir kembali di bawah cahaya bulan yang sama.
Once in a Moon adalah kisah tentang cinta yang ditemukan dalam keheningan malam, dimana dua jiwa yang terluka saling menyembuhkan. Apakah Kaluna dan Saga akan menemukan cinta yang mereka dambakan, atau akankah masa lalu terus menghantui mereka selamanya?
Ingatan saya selaku pembaca, terbawa pada novel yang judulnya Weeping Under This Same Moon. Di sana, bulan digambarkan sebagai keadaan yang hening lagi tenang namun membawa perasaan mendalam.
Kesan atas kehadiran bulan purnama yang kemudian menarik Ka Acha pada rasa dan duga yang serupa. Sebelum mulai membaca bab pertama novel ini, saya berusaha keras untuk menahan diri. Mendapati kalau buku ini terinspirasi dari seorang sahabat dari sang penulisnya, saya butuh menikmati karya begini dengan hati-hati.
Saya bersiap menyambut segala rupa rasa magis untuk hinggap dalam benak. Benar saja, sejak latar Tambrauw di Papua digambarkan, Ka Acha membayangkan betapa langit malam akan begitu bening hingga hamparan bintang dan cahaya bulan dapat sempurna menunjukkan pesona pada langit malamnya. Sesuatu yang begitu disukai oleh sang tokoh utamanya, Kaluna.
Momen yang sejatinya mampu menyembunyikan luka. Mengaburkan airmata yang diselimuti senyum rapuh sebab berusaha tangguh.
Tak pernah saya menyangka kalau sedari mula kisah Kaluna dirajut, akan ada luka dari perceraian yang pertama kali tercipta. Sakit hati atas tingkah suaminya yang bermain api dengan perempuan lain. Sementara anak kembar keduanya masih terbilang cukup kecil untuk menyadari makna perpisahan kedua orangtuanya.
Saya kira, tadinya kisah Kaluna akan penuh huru-hara dengan suaminya. Tahunya, saya mendapati karakter perempuan yang sebegitu kuat jiwanya, menahan pedih hanya demi dirinya mampu berdiri sendiri kembali. Hhh ... rasanya, saya diajak berempati habis-habisan di sini.
Once in a Moon membawa saya menyadari, betapa peliknya permasalahan orang dewasa, terutama bila dirinya pernah berkeluarga sebelumnya. Ditambah lagi, saya jadi tahu betapa beratnya menjalani hari sebagai penderita chusing syndrome. Dalam hati, berkali-kali saya berharap Kaluna akan selalu baik-baik saja.
Novel ini ditulis oleh seorang blogger yang juga merupakan seorang mantan jurnalis. Wajar bila latar cerita dan berbagai informasi yang disisipkan di dalam novelnya, begitu membuai Ka Acha. Poin yang lekas membuat saya menyukai novel karya Mutia Ramadhani ini.
Maklumlah, sebagai penyuka buku bertema perjalanan, ketika menyadari kalau latar lokasi yang dihadirkan sangat mampu membangun dunia imajinasi saya, kemudian memudahkan saya mewujudkannya serupa potongan video, saya akan langsung tenggelam di dalamnya. Walau di beberapa bagian, saya memberi jeda untuk mencari tahu keindahan latar lokasinya dengan brtanya pada platform media sosial dulu. Supaya makin kebayang kan karena saya belum pernah ke sana.
Oh ya ... sayangnya, ada beberapa penggunaan bahasa daerah Bali dan beberapa istilah lokal yang nampaknya terlewat untuk diberikan catatan kaki. Semoga di cetakan selanjutnya, bagian ini nggak terlewat lagi. Nggak mengganggu keseruan membaca sih sebenarnya. Hanya terpikir begitu saja.
Kehadiran potongan-potongan informasi yang bukan hanya berhubungan dengan keseharian Kaluna sebagai seseorang yang bekerja di ranah konservasi alam dan lingkungan, termasuk perjalanan Kaluni untuk pulih dari segala sakit yang dideritanya, membawa saya pada perenungan. Aih ... benar ya, life is not fair.
Saya mengamini, betapa menjadi baik-baik saja itu nggak selalu mudah. Bahkan, sebuah buku antologi berjudul Pulih, mengajarkannya begitu dalam pada saya.
Sakit akibat dikhianati itu sungguh parah. Lukanya berpotensi meradang dan menimbulkan masalah lainnya. Goresannya akan selalu ada, bukan?
Saya kemudian mendapati, begitu keras dan tertatihnya upaya yang Kaluna harus lalui. Kamu juga bisa mencicipi perasaan yang serupa dengan Ka Acha jika ikut membaca novel ini.
Ka Acha baru tahu nih, kalau Gajah Sumatra rupanya hewan nokturnal. Hewan yang hanya terlelap sepanjang 4 jam saja dalam sehari. Saya menduga, hewan besar berbelalai panjang ini pastilah begitu menyukai cahaya redup dari rembulan di kala malam. Momen yang kemudian mereka manfaatkan untuk bersenang-senang.
Sosok tenangnya menunjukkan kalau sebenarnya Gajah Sumatra punya kewaspadaan yang tinggi. Mereka senang berkumpul bersama agar bisa saling melindungi.
Di sisi lain, hewan ini sosial sekali. Dalam pengasuhan anak-anak gajah, para induk melakukannya secara bersama-sama. Bukankah Gajah Sumatra pada akhirnya menggambarkan tentang sebuah keluarga yang hangat lagi lekat?
Sayangnya, predator Gajah Sumatra ini ada banyak. Bukan hanya dari golongan hewan, tapi yang paling mengerikan adalah manusia. Catatan pentingnya, jarang sekali ada orang yang sebegitunya tergerak untuk menjaga alam dan lingkungan. Karakter yang Kaluna sekali, sepanjang saya membaca Once in a Moon hingga halaman terakhir buku ini.
Padahal kan, keberadaan mereka begitu banyak berkontribusi pada ekosistem sekitarnya. Kalau ditarik ke ranah perasaan kan, seperti rasa bahagia yang mudah sekali menularnya. Baik itu dari orangtua ke anak, atau sesama teman biasa.
Makanya tadi Ka Acha bilang, kalau sampul novel Once in a Moon bukan hanya menarik perhatian, tapi menimbulkan banyak pertanyaan. Rupa-rupa rasa seperti apa sih yang akan Kaluna dan Saga hadirkan, bukan cuma sepanjang perjalanan mereka di tiap halaman bukunya, tapi yang juga mereka hadiahkan untuk pembaca macam saya?
Duh ya ... sejujurnya saya nggak tahu harus berkata apa lagi tentang novel Once in a Moon karya Mutia Ramadhani ini. Bila saya nggak menuntaskan membaca ceritanya sampai habis, mana pernah saya akan memahami makna apa yang tersembunyi di balik sampul novel ini. Dalam sekali.
Aku tuh lgs browsing apa itu Cushing syndrome. Dan ternyata bahaya juga kalo ga ditanggulangi yaa ðŸ˜ðŸ˜. Apalagi menyangkut gula darah segala.
BalasHapusBtw, kayak biasa review mba acha sellau terbaca menarik. Bikin pengen ikutan baca bukunya.
Sebagai orang yg pernah mengalami gagal rumah tangga akibat perselingkuhan, aku bisa ngerasain sakit yg dirasain kaluna.. Dia lebih menderita sakitnya krn ditambah terlanjur ada anak dan kena Cushing syndrome tadi.
Btw, gajah ini juga hewan favoritku mba. Sayangnya memang predator paling mengerikan di dunia itu manusia selalunya ðŸ˜ðŸ˜. Yg tega membunuh hewan paling sosial seperti gajah begini hanya utk gading. Pas kejadian ada gajah di Aceh yg selama ini bertugas utk assist gajah2 liar yg baru ditangkarkan, dibunuh lalu diambil gadingnya, aku nangis banget.
Padahal itu gajah terlatih yg memang dipakai utk membantu manusia. ðŸ˜. Tegaaa banget pelakunya. Semoga gajah di novel ini ga semakin buat airmata makin ngalir ya mba...
Novel ini sudah masuk wishlist buat tahun depan lho. Penulisnya juga blogger yang suka banget bahas isu lingkungan. Lihat review dari kak Acha, jadi pengen cepet-epet beli, Hehehehe.. :D
BalasHapusNovel ini bukan hanya sekadar kisah cinta biasa. Mutia berhasil menganyam benang merah antara kisah romansa dengan isu lingkungan yang begitu dekat dengan hati. Pengetahuan tentang konservasi alam yang diselipkan di sepanjang cerita, membuat pembaca semakin kaya akan informasi.
BalasHapusBuat saya sih menark banget konsep cover novelnya, apalagi ulasan yang begitu menarik perhatian sehingga bisa memuat orang kepingin langsung membacanya, seperti saya misalnya :)
BalasHapussaya belum baca bukunya ternyata itu baru kelaur September 2024 ini ya, halamannya lumayan banyak juga tapi bikin penasaran dengan isinya apalagi bersampul tentang gajah Sumatera, sebuah sampul yang menarik dna membuat pembaca penasaran pastinya
BalasHapusNovel yang menarik! Tidak hanya sekedar menceritakan kisah cinta tetapi juga menyisipkan isu lingkungan yang sedang trend saat ini. Pembaca novel ini secara tidak langsung bisa bertambah wawasan dan pengetahuannya.
BalasHapusKak Acha, betul aku pun kagum sekaligus bertanya-tanya terkait sampul buku nya. Semenarik itu ya dari sampulnya pun. Pemilihan nama Kaluna aku seneng deh, keren penulis punya nama tokoh sebagus itu.
BalasHapusBaca review kak Acha, bikin aku jadi semakin kuat pengen baca keseluruhan buku novel Once in a Moon. Yang pastinya kasih banyak sekali pembelajaran terkait bagaimana Kaluna dan Saga pulih dari segala kesakitan di masa lalu.
dari sampulnya aja udah bikin bertanya-tanya dan penasaran ya Kak
BalasHapuskayaknya jarang gitu ya yang ngambil tema hewan di sampul novel, ternyata memang menggambarkan tokoh ceritanya seorang Ibu yang tangguh.
Sepertinya hidup Kaluna itu complicated, ya. Tetapi, menarik sekali untuk dibaca novelnya. Membaca ulasannya aja udah bikin hati saya campur aduk. Pedih bercerai karena perselingkuhan. Ditambah lagi dengan adanya penyakit. Makin penasaran deh saya ma novelnya
BalasHapusBerarti ilustrasi sampulnya bagus. Simbolik, semiotis, dan bisa memantik rasa penasaran pembaca. BTW aku baru tahu kalau gajah hewan nocturnal.
BalasHapusSaya mengenal karakter tulisan Kak Mutia yang memang concern ke tema lingkungan, belum lagi mantan jurnalis jadi memang selalu menarik saat mengulas sebuah topik. Karenanya saya yakin novel ini pasti istimewa apalagi di sini Ka Acha mereview dengan seruu seperti biasa....Wahh, pengin baca jadinya
BalasHapusBikin novel ky gini mmg penuh tantangan namun impactnya besar bgt buat kehidupan. Semoga byk yg terketuk ttg value dr novel ini yg cerdas.
BalasHapusBaca review Kaluna jadi berpikir sama sih, Mbak. Benar-benar life is not fair, aku bacanya sambil menahan emosi yang campur aduk.
BalasHapusNovel mengenai kehidupan rumah tangga ini selalu menarik, apalagi sekarang aku sedang mengalaminya. Cerita-cerita dari novel semacam ini bisa jadi salah satu ajang refleksi agar aku bisa lebih mantap lagi mengarungi bahtera rumah tangga
BalasHapusBaru membaca reviewnya saja, bikin aku ingin melahap isi keseluruhannya. Kebetulan novel dengan genre romansa/percintaan seperti ini aku sangat menyukainya.
BalasHapussampulnya menarik yang kak acha, biasanya kan burung yah kalau novel romance tuh tapi ini gajah, jadi buat penasaran buat yang baca ada makna apa dibalik sepasang gajah dan nama bukunya juga bikin pertanyaan
BalasHapusMembaca review Kak Acha yang selalu sukses membuat oenasaran untuk membaca novelnya, ingin tau bagaimana ending dari penyembuhan luka yang dialami Kaluna dan Saga, akan kah mereka berbahagia kembali?
BalasHapus