Staycation Di Holiday Inn Gajah Mada Jakarta Buat Numpang Beresin Naskah Novela

#FFCintaPertama Lelaki Pertama



                Dua puluh empat tahun. Sudah dua puluh empat tahun, aku baru menemukan perasaan yang begitu membahagiakan namun juga menakutkan, menyakitkan tapi menenggelamkan aku pada kerinduan. Kusebut ... cinta pertama.
                Bukan karena bertahun lalu aku tak pernah jatuh dalam cinta. Bukan karena aku tak pernah menjalin hubungan dengan seorang lelaki pun. Bukan pula karena tak ada seseorang pun yang dulu hadir, dan membuatku bertekad mempertahankan perasaan kami bersama-sama.


                Aku sudah lupa, berapa lelaki yang menimbulkan rona merah tomat di pipiku, tiap kami hanya bicara berdua. Hanya nama-nama mereka saja yang tertulis rapi dalam berjilid-jilid buku harianku sedari remaja. Sesekali pun, aku mengingat wajah mereka, wajah yang dulu kusebut tampan dengan hati melambung. Namun ... berbeda sekali dengan lelaki yang satu ini.
                Di awal November tahun lalu, kami dipertemukan ... dia menemani aku berimajinasi, di sebuah ruangan ber-AC, interview kerja. Senja itu saat meninggalkan ruangan, tiba-tiba terbersit suara lain di kepalaku, “dia menyukaiku!”.
                Kemudian di awal Desember kami bertemu kembali. Lalu ... sejak itu hingga hari ini, aku terus bertarung dengan batinku sendiri ... bertarung dengan rasa takut kehilangan.
                Padahal, apa hebatnya dia? Dibandingkan semua lelaki yang hadir di hidupku, ternyata dia lebih muda 7 hari denganku. Sebab selama ini, aku jatuh cinta dan membina hubungan dengan lelaki yang bisa kupanggil Kakak atau Abang, dan sesekali Mamas. Kebanyakan aku dipertemukan Tuhan dengan lelaki romantis, semetara dia tidak sama sekali. Sering pula aku dibuat tercengang oleh lelaki yang suka membaca, tak banyak bicara, diam, tapi seolah sudah tahu segalanya tentang dunia. Dia? Benci buku tebal. Bicaranya spontan. Humoris. Sesekali berceloteh vulgar. Tubuhnya pun beraroma rokok. Hhh ....
                Dengan dia, pertama kalinya aku merasa tak yakin pada daya tarikku. Dengan dia, hanya dengan dia, aku cuma bisa duduk kaku tanpa berani menunjukan perhatianku, padahal aku begitu ingin. Dengan dia, entah bagaimana aku benci terlihat tak mandiri. Dengan dia, aku takut memulai interaksi yang mendekatkan kami -- lebih. Dengan dia, sesekali aku merasa cemburu tiap dia  menggoda gadis lainnya, tapi begitu ingin membiarkannya bahagia dengan membantunya. Lalu mengapa hanya dengan dia, aku jadi begitu egois, tak ikhlas jika suatu waktu dia pergi meninggalkan aku di kantor kami, tanpa berniat kembali esok harinya, untukku? Sungguh, aku bahkan tak mengerti, mengapa aku begini.
                Inilah yang kusebut cinta pertama. Membuatku tanpa daya. Mengajariku untuk bersikap lebih dewasa. Melunturkan setiap ‘sombong’ yang pernah kujadikan tameng tiap aku merasa rapuh akibat cinta. Memaksaku berhenti menilai ketampanan lelaki hanya dari satu sisi saja. Terlebih, dia membuatku takut – aku takut mencintai lelaki yang salah, sekaligus membuatku percaya pada dirinya.
                Dialah lelaki pertama, lelaki yang menghadiahiku rasa cinta yang benar-benar berbeda.

Komentar