Bermalam Di Camping Ground Balakosa Mountain Adventure

Taman Loang Baloq Si Lubang Buaya Pulau Lombok dan Sepotong Kisah Masa Kecil Saya

Loang Baloq sedari dulu merupakan sebuah kawasan makam keramat atau dikenal pula sebagai petilasan yang lokasinya berada di Kota Mataram, Lombok, Nusa Tenggara Barat. Makam dari seorang penyebar agama Islam di Pulau Seribu Masjid yang katanya berasal dari Timur Tengah, Syeikh Gauz Abdurrazak.

Nggak hanya satu saja makam saja yang dikeramatkan di sana. Ada pula makam Datuk Laut yang dikenal masyarakat sebagai salah satu penyebar agama Islam di Bumi Gora. Kemudian, ada juga makam Anak Iwoq, makam seorang anak yatim piatu.

Secara harfiah dalam bahasa Sasak, Loang bermakna lubang. Sementara Baloq atau lebih tepatnya Bebaloq adalah sebutan untuk Buaya. Makanya, kawasan tepian pantai di wilayah Tanjung Karang, Sekarbela, Kota Mataram ini, disebut pula sebagai lubang buaya dari Pulau Lombok.

Ka Acha menghabiskan masa kecil di Tanjung Karang, Mataram. Ya … lokasi Taman Loang Baloq ini nggak begitu jauh dari rumah orangtua saya. Bahkan dulu, menurut penuturan salah satu tante dari pihak Mama yang turun tangan mengurusi saya yang masih balita, nggak jarang ia mengajak saya jalan-jalan sore ke sana. Bukan untuk berdoa atau berziarah, melainkan menikmati suasana tepian pantainya saja.

Pantai Loang Baloq berada segaris dengan Pantai Tanjung Karang – kini telah berubah nama menjadi Pantai Sansit – yang jaraknya lebih dekat lagi dari rumah orangtua Ka Acha. Pasirnya abu-abu gelap dengan muara yang membelah kedua pantai tadi sebagai pembatasnya.

Dulu sekali, dalam ingatan Ka Acha, setiap jalan-jalan sore menuju ke arah Taman Loang Baloq, hamparan ladang kangkung di tanah rawanya menghijau segar. Setiap sehabis Ashar, para peladangnya sibuk memanen kangkungnya yang berbatang besar-besar. Salah satu ciri khas Kangkung di Lombok untuk bahan utama Plecing.

Jika saya tengah berkeliling bersama Pak Prof – Papa saya – nggak jarang beberapa ikat kangkung menjadi buah tangan yang dibawa pulang. Malamnya, tentu saja, entah tumis kangkung atau plecing akan muncul di meja makan.

Di seberang ladang kangkung, hanya dibatasi jalan besar dari jalur lingkar luar Lombok Barat, berjejer sawah. Di sana, sekali dua kali, Pak Prof membawa saya dan salah satu adik saya untuk bermain layang-layang. Kalau angin sedang kurang baik, Pak Prof mengajak kaki saya menjejak pematang sawahnya, berjalan memutar untuk kembali pulang ke rumah.

Sayangnya saat ini, segalanya sudah banyak berubah. Ladang dan sawah beralihfungsi jadi pemukiman. Semua yang dulu hijau membentang, perlahan-lahan tergerus pembangunan. Tapi ya sudah, masa lalu memang hanya untuk dikenang, bukan?

Saya pernah bertanya pada Pak Prof dulu, apa sih yang ada di dalam petilasan Loang Baloq? Kenapa dulu ada foto Ka Acha yang duduk dipangku tante saya di bawah sebuah pohon beringin besar dengan akarnya yang menjuntai nggak karuan? Sementara di sekitar akar gantung tadi, ada banyak sekali tali yang terikat seolah tanpa tujuan. Lalu kenapa setelah mulai besar, beliau melarang keras saya berkunjung ke sana?

Petilasan dan Kebiasaan Ziarah Makam Loang Baloq

Rupanya, ada sebuah mitos makam Loang Baloq yang mengkhawatirkan Pak Prof. Dikatakan bahwa para peziarah yang bertandang ke sana seringnya mengikat  akar gantung dari pohon beringin besar yang tumbuh di tengah kuburan keramatnya kuburan Loang Baloq.

Mereka adalah orang-orang yang memiliki hajat sehingga datang untuk berdoa di sana. Jika kelak pinta mereka terkabul, mereka harus datang lagi untuk melepas ikatan yang mereka buat.

Persis meminta pada sesuatu yang bukan seharusnya, terutama bagi seorang muslim. Keras nan tegas. Begitulah ajaran Pak Prof pada saya. Sekali saya mencoba, sungguh dosa karena telah menyekutukan Allah subhanahu wa ta’ala jatuh sudah.

Tahun berlalu. Perjalanan terakhir kali saya mengunjungi Taman Loang Baloq bersama Mama dan Pak Prof pun berjalan sama. Saya hanya dibawa menyusuri tepian danau Loang Baloq saja. Saat mobil yang Pak Prof kemudikan memasuki lahan parkirnya, sudah ada banyak sekali ocehan beliau tentang betapa kurang baiknya jika menyandang status sebagai muslim namun datang ke makam untuk ‘meminta’.

Orang-orang berpakaian serba putih menaiki tangga pendeknya. Nggak jarang, saya menemukan kaum adam dengan sorban putih melilit kepala mereka. Terbayang jelas kalau keadaannya nggak akan jauh berbeda dengan para peziarah yang mengunjungi goa di tepian Telaga Warna Dieng. Mereka datang sama-sama untuk ‘meminta’.

Loang Baloq Dikenal Sebagai Destinasi Wisata Lokal

Lokasi Taman Wisata Loang Baloq yang masuk dalam lingkup Kota Mataram, pun akses menuju tempat ini pun nggak terbilang jauh dari pusat, nggak serta-merta menjadikan tempat wisata Lombok ini banyak dikunjungi wisatawan asing. Seringnya ya hanya masyarakat dari Pulau Lombok sendiri sebab Loang Baloq dianggap sebagai destinasi wisata religi.

Pak Prof dan Mama yang berpose ala ala habis curcolin soal diabetes dan sungguh dua orangtua Ka Acha ini random sekali, dan kumengerti ke-random-an ini bermula dari siapa

Ada bebek-bebekan yang bisa disewa pengunjung untuk berkeliling danaunya yang nggak terlalu luas. Pengunjung seringnya datang hanya untuk duduk-duduk bersama keluarga di tepian danau untuk menghabiskan waktu bersama, dan banyak yang mampir selepas berziarah juga. 

Banyak pula menu street food khas tepian pantai yang ditawarkan pada pengunjung yang datang. Mulai dari Sate Lilit Ikan, sampai Jagung Bakar.

Sayangnya, kunjungan saya di Taman Loang Baloq super duper singkat. Hanya datang sekadar untuk berfoto dan mendengar tuturan kisah lama dari Pak Prof dan Mama tentang diri saya di masa kecil dulu. Maka, perjalanan pun ditutup sebab ada tujuan lain yang butuh dituju, berburu oleh-oleh khas Lombok untuk seluruh kolega Pak Prof dan Mama.

 

Komentar

  1. Sayangnya masih banyak yang menganggap meminta ke kuburan adalah hal yang biasa ya kak acha.. Padahal itu adalah salah satu bentuk kesyirikan yang gak disadari
    Semoga mereka dapat hidayah dan loang baloq pure menjadi wisata sejarah saja tanpa embel embel praktik kesyirikan.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Yaaa ... entah aku harus menanggapi gimana sih Mba Icha. Tapi setuju, syirik kecil aja udah bikin ngeri, gimana syirik besar. Mungkin ini juga sih ya pesan dari Rasulullah untuk nggak meninggikan makam -- siapapun itu setelah wafat -- dan cukup diberi penanda saja. Apalagi kalau sudah menyandang status sebagai tokoh agama semasa hidupnya. Sayangnya praktek begini melekat lama sekali dan mengakar dalam, jadii kalau sudah paham ilmu, ya sebaiknya jangan coba-coba.

      Hapus
  2. Lombok adalah salah satu destinasi wisata wishlist saya yang belum tercapai. Hmm, ternyata memang sekeren itu

    BalasHapus
  3. noted kak, kalau ke Mataram harus menyempatkan ke Loang Baloq ya biar mengenal wisata lokal Lombok..

    BalasHapus
  4. Lah, kak Cha asli Lombok? Ealah.. Aku juga pernah domisili di Gebang dan Gerung, loh kak. Sodara juga ada yg di Sekotong dan Pringgarata. Dulu, sempet beberapa kali bersore ria di Loang Baloq sepulang kerja. Dulu sih enak ya suasananya masih belum terlalu rame, nggak tau kalo sekarang, hehe..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nggak sih Kak Rizky. Aku di Lombok numpang lahir dan menghabiskan sebagian masa anak-anakku aja di sana. Nggak lama. Orangtuaku merantau di Lombok dulunya semasa mereka muda, dan sekarang keduanya merantau di pulau Jawa ini, Kak. Rejekinya mereka ya kemudian bisa punya tempat tinggal yang nggak jauh dari Loang Baloq, dan dulu bisa disamperin sambil jalan sore-sore sembari nyari Kangkung atau Jagung.

      Kemarin terakhir kali pulang melirik rumah lama kami yang disewakan ke pihak lain sih, kiri kanan sudah rame. Hilang sudah kebun Papuq samping rumah tempatku biasa mampir. Jalan ke arah pantai Sansit yang tadinya lengang dan seringnya dilewati satu dua kendaraan atau cidomo, eeehh macet.

      Kak Rizky punya saudara di Sekotong? Nganjangan kenal sama pamanku yang tinggal di sana juga. Nah lho ... apakah blog kemudian menghubungkan kita makin dekat, Kak?

      Hapus
  5. kehadiran wisata Loang Baloq ini sebenarnya karena di sekitar ada pemakaman ya, Mbak. Jadi tujuan orang awalnya datang untuk berziarah, termasuk khusus untuk meminta sesuatu atau ada hajat. Karena alamnya bagus, makanya dibuatlah tempat wisata selepas dari ziarah. Makanya lebih terkenal dengan wisata religi.

    BalasHapus
  6. Wah info baru nih. Ada tempat wisata di kota Mataram yah. Bulan Agustus kami ada fam gathering nih kak Acha. Aku sih pengennya ke Masjid Kuno Bayan Beleq. Mudah-mudahan kesampaian nih...

    BalasHapus
  7. Lokasi yang bisa sebagai healing agar mengingat kematian sekaligus berziarah juga.
    Semoga bisa kembali lagi kak Acha traveling ke sana, agar bisa kelilingan sesuai harapan ya

    BalasHapus
  8. Rencana Desember akan ke Lombok memgamtar kreta apill dam hak.ada ya hak makan malam?.Gustimyeni

    BalasHapus
  9. wah kak acha lagi nostalgia nih ya, boleh juga nih jadi rekomendasi tujuan wisata kalo nanti saya ke daerah sini, happy travelling terus ya kak

    BalasHapus
  10. Kak, Kenapa dinamakan Loang Baloq ya? Apa ada buayanya beneran di sana?

    Semoga bisa dijawab ya Kak Hehe

    BalasHapus
  11. Papanya mba Acha mirip papaku kalo udh soal agama 😄. Keras, pokoknya yg bertentangan pasti ditentang bangett. Aku bersyukur sih didikan papa soal agama lumayan saklek, walopun untuk urusan jilbab aku msh lepas pasang.

    Di kampungku juga makam ulama banyak, dan sbnrnya ga pernah ditinggiin juga mba. Malah sederhanaaa banget. Tapi orang2nya aja yg tetep kadang 'meminta'. Apalagi kampung suami di Jawa, lebih banyak lagi yg begitu. Serem aku.. :( .

    BalasHapus

Posting Komentar