Semalam di Kereta Bima Sakti dan Imajinasi yang Miyazawa Kenji Titipkan ke Pembaca

Pagi ini saya mengambil buku baru yang belum dibuka dari jejerannya di rak setelah beberapa waktu lalu menamatkan buku klasik nan tipis, Semalam di Kereta Bima Sakti karya Miyazawa Kenji. Akhirnya ya ... begitu luapan di benak saya.

buku anak jepang Semalam di Kereta Bima Sakti - Miyazawa Kenji

Buku terjemahan dari buku anak tersohor yang jadi acuan membaca bagi anak-anak di Jepang sana ini, ternyata cukup lama bisa saya tamatkan. Padahal kisah di dalamnya begitu sederhana. Bisa dilahap sekali duduk pula. 

Usut punya usut, paparan fantasi yang terlalu banyak, menjadikan saya yang sepertinya sudah dimanjakan oleh bahan bacaan dengan kisah realistis ini, jadi butuh beradaptas lagi. Selain itu, waktu membaca yang sempit pun memberi tantangan tersendiri. 

Namun, buku Semalam di Kereta Bima Sakti terbitan Penerbit Imai pada akhirnya jadi koleksi kesayangan saya setelah Le Petit Prince. Bisa memiliki buku anak klasik, menjadikan ruang Bacha Santai di rumah terasa mewah. 

Profil Novel Anak Klasik Semalam di Kereta Bima Sakti

Judul              : Semalam di Kereta Bima Sakti

Penulis          : Miyazawa Kenji

Editor            : Reda Gaudiamo

Penerjemah : Armania Bawon Kresnamurti

Penerbit       : Penerbit Imai

Cetakan       : Ketiga, Juli 2023

Tebal            : 116 halaman  

QRCBN         : 62-1494-9657-399 

Blurb Novel Miyazawa Kenji - Semalam di Kereta Bima Sakti

Giovanni adalah seorang anak laki-laki yang kesepian. Ia selalu diganggu oleh anak-anak lain di sekolah karena ayahnya tak kunjung pulang dari melaut.

Pada suatu malam, ia mendapatkan kesempatan ajaib. Bersama Campanella, sahabatnya, ia berkeliling Galaksi Bima Sakti dengan sebuah kereta. Namun, tugas kereta tersebut tidak hanya terbang mengitari langit malam ....

Bermula dari Film The Father of the Milky Way Railroad

Perkenalan Ka Acha dengan sosok Miyazawa Kenji berawal dari ajang Japan Film Festival Online. Saya menekan tombol tonton untuk sebuah film berlatar Jepang di era awal tahun 1900-an. Rupanya, itu film biografi dari salah satu penulis kenamaan Jepang bernama Kenji Miyazawa atau Miyazawa Kenji.

Dibintangi oleh Masaki Suda, film The Father of the Milky Way Railroad mengisahkan perjalanan Miyazawa Kenji mulai dari lahir hingga meninggal dunia, lalu jejak karyanya diterbitkan oleh keluarga dan meledak kemudian menjadi legenda. Sudut pandang ceritanya berasal sosok ayah kandungnya.

Dari film itu, saya mencicipi perasaan betapa memperjuangkan impian untuk menjadi seorang penulis, selalu saja dapat tantangan besar dari keluarga. Sebuah privilese bila dukungan besar itu dimiliki oleh seorang anak yang terlahir di sana.

Pesan lainnya, berat bila memberikan ruang terlewat besar pada dunia kepenulisan fiksi semata. Seorang penulis akan lebih leluasa bila mengerjakan pekerjaan di bidang lainnya yang masih berkaitan. Ah ... menilik keadaan para penulis di masa sekarang, ada benarnya juga. Mohon dikoreksi kalau Ka Acha kurang tepat ya.

Tadinya, saya menyaksikan The Father of the Milky Way Railroad tanpa ekspektasi apa-apa. Benar-benar kosong. Nggak paham konteks. Pun saya saksikan dengan harapan nantinya saya bisa mencicipi imajinasi indah dari bentangan langit malam penuh bintang. Seperti perasaan yang saya cicipi ketika menuntaskan anime Insomniacs After School

Tetapi lebih dari apa yang saya bayangkan. Film itu membius dan begitu bagus. Saya kemudian belajar kalau cerita Semalam di Kereta Bima Sakti karya Miyazawa Kenji sudah pernah dihadirkan dalam rupa animasi keluaran tahun 1950-an. Kemudian nggak jarang pula kisahnya dimainkan dalam drama sekolah untuk anak-anak di Jepang sana.

Ketika cuplikan film animasi pertamanya itu saya saksikan, tokoh-tokohnya digambarkan berupa hewan. Tetapi, imajinasi Ka Acha rupanya lebih condong untuk membayangkan kalau Giovanni dan Campanella adalah dua anak manusia. Serupa dengan yang dimunculkan pada sampul buku anak klasik Semalam di Kereta Bima Sakti keluaran Penerbit Imai ini.

Fantasi Magis dari Semalam di Kereta Bima Sakti

Miyazawa Kenji adalah seorang penulis Jepang yang meninggal di usia muda, tepatnya pada umur 37 tahun. Ia berpulang tahun 1933, dan naskah Semalam di Kereta Bima Sakti inilah yang ada di samping bantalnya. Begitulah yang dituliskan oleh Ribeka Ota selaku pemeriksa bahasa dari buku ini.

Saya paling mensyukuri kalau buku Semalam di Kereta Bima Sakti karya Miyazawa Kenji terbitan Penerbit Imai penuh oleh gambar pendukung. Imajinasi saya seolah dikunci pada rel lurus nan teratur. Dengan begitu, perjalanan memandangi dan menikmati sajian tuturan dari Giovanni bukan hanya terasa hidup, namun juga seirama.

Pada akhirnya, dunia yang Miyazawa Kenji bangun di dalam cerita Giovanni dan Campanella saat menjelajah langit malam, membawa pembaca dewasa mengenali sosok Miyazawa Kenji lebih dekat lagi. Apalagi kan, Ka Acha sudah berkesempatan menyaksikan filmnya lebih dulu.

Paling ajaib bagi saya adalah potongan cerita tentang Si Penangkap Burung. Bagaimana burung-burung imajiner di angkasa itu, bisa ditangkap hanya dengan tangan. Kemudian ditarik hingga tipis, lalu dilipat. Saat dimakan, burung-burung tadi berubah menjadi kue.

Ada lagi kisah tentang Kalajengking yang terus terbakar. Maksudnya merujuk kepada rasi bintang scorpio. Termasuk alasan mengapa nyalanya nggak pernah padam sedetik saja. Seolah ketika diri Si Kalajengking ini terlalap api dia bukannya sedih melainkan bahagia.

Pelan-pelan buku ini juga membawa saya paham walau secuil, mengapa orang-orang Jepang seringnya lebih terlihat mementingkan kenyamanan sekitar saat berada di ruang publik. Bisa jadi sebab itulah budaya turun-temurun mereka. Dan ... Semalam di Kereta Bima Sakti karya Miyazawa Kenji menghadirkannya juga, walau hanya sedikit saja.

Tulisan dari Ribeka Ota sebagai penutup, memberikan pemahaman lebih jauh kepada pembaca yang harus pelan-pelan lagi ketika mengeja fantasi utuh, serupa Ka Acha. Mengapa ada Stasiun Salib Selatan, Stasiun Salib Utara, juga akhir kisahnya yang ternyata membawa sesak di dada.

Buku Semalam di Kereta Bima Sakti karya Miyazawa Kenji terasa lekat dengan simbol-simbol keagamaan, semisal Kristiani dan Buddhis. Kalau bukan karena menyaksikan filmnya duluan, mungkin saya nggak akan paham alasan beberapa kepercayaan seolah bercampur-baur di dalam kisah perjalanan Giovanni dan Campanella.

Bagi Ka Acha, bila kamu membaca Semalam di Kereta Bima Sakti, akan lebih mantap bila kamu tutup -- atau buka -- dengan menyaksikan filmnya. Kelak, kamu mungkin akan punya harapan seperti Ka Acha yang ingin sekali berkesempatan mengunjungi museum peringatan Miyazawa Kenji di Hanamaki, Iwate, Jepang. Miyazawa Kenji Dowa Mura, namanya. Apalagi ... Hayao Miyazaki, pendiri Gibhli Studio banyak terinspirasi oleh sang legenda, Miyazawa Kenji.



Komentar