Novel Runtuhnya Menara Azan : Potret Peristiwa Geger Cilegon 1888 Berbalut Cinta

Terbit hampir 20 tahun lalu, novel Runtuhnya Menara Azan karya Yanti Soeparmo ini akhirnya sampai pula ke tangan saya. Berawal dari rasa penasaran ketika buku fiksi sejarah berbalut kisah romansa ini dimunculkan dalam jejeran buku jastip dari salah seorang rekan penulis yang bermukim di Bandung. 

Sosok perempuan muda cantik dengan wajah ala Eropa, juga penggambaran keadaan huru-hara pada sampulnya, menggoda Ka Acha. Apalagi ada iming-iming kalau karya ini mendapat penghargaan Adikarya IKAPI di 2007.

Coba kamu kalkulasi. Hampir 20 tahun lalu, bukan? 

Bila menilik dari usia buku ini pertama kali dicetak, tak terasa uzur sama sekali bagi Ka Acha. Memang sih, keberadaannya mungkin sudah termasuk langka di pasaran. 

Saya menikmati setiap kisahnya, bak dibawa menjelajah ke masa lampau saat Banten tengah dikuasai bangsa Belanda. Kerusuhan yang disulut oleh ketimpangan sosial. Hingga bagaimana Adrian yang seorang tentara mata-mata, menemukan intisari namun selanjutnya ia mencicipipengkhianatan juga. 

Kuat alasan Ka Acha untuk menulis review buku terbitan lama satu ini. Sebab saya yang terbiasa membaca tanpa meninggalkan jejak apa-apa di buku terutama fiksi, berakhir banyak mencipta anotasi dengan pensil. Banyak sekali poin penting yang terjalin runut, sebuah bahan pembelajaran sejarah yang belum tentu mudah ditemukan di buku pelajaran sekolah. 

yanti soeparmo - runtuhnya menara azan

Profil Novel Runtuhnya Menara Azan yang Bawa Banyak Pesan dan Pengetahuan

Judul       : Runtuhnya Menara Azan (Jalinan Cinta dan Misteri di Tengah Pemberontakan Muslim Cilegon 1888)

Penulis    : Yanti Soeparmo

Editor      : M. Irfan Hidayatullah

Penerbit : Mizania (Mizan Pustaka)

Cetakan  : 2009

Tebal       : 364 halaman

ISBN        : 978-602-8236-20-1

Blurb Novel Yanti Soeparmo - Runtuhnya Menara Azan

Adrian de Vries, seorang agen rahasia Hindia Belanda, diperintahkan menyelidiki sebab-musabab kerusuhan Cilegon 9 Juli 1888. Josefine, gadis indo yang cantik, berhasil lolos dari serbuan Laskar Santri dan Petani. Corrie van Kreiken, gadis muda ini datang dari Batavia ke Cilegon untuk memastikan ibu tirinya tewas dalam kerusuhan Cilegon yang dipimin Haji Tubagus Ismail, agar dia bisa mewarisi seluruh harta keluarganya.

Ketiganya bertemu di Cilegon dalam situasi porak-poranda, penuh kebohongan, kepura-puraan, dan pemutarbalikkan fakta. Dan di tengah kesibukan, misi, dan tugas, cinta pun bersemi di antara mereka bertiga.

Sanggupkah Adrian mencari fakta sesungguhnya dari kerusuhan Cilegon? Bagaimanakah Josefine bisa lolos dari amukan massa? Berhasilkan Corrie mendapatkan harta warisan? Dan bagaimana kelanjutan hubungan cinta segitiga antara Adrian, Josefine, dan Corrie?

Rekomendasi Para Penulis untuk Novel Runtuhnya Menara Azan

"Inilah roman sejarah berlatar Banten setelah Max Havelaar (Saija Adinda) karya Multatuli. Semoga dapat membuka harta karun kisah-kisah heroik Banten lainnya untuk ditulis dalam bentuk fiksi."

(Gola Gong -- penulis buku-buku best seller dan pengelola rumahdunia.net)

"Novel ini tidak hanya enak dibaca, tetapi juga sarat informasi sejarah bangsa."

(Irfan Hidayatullah -- penulis, dosen sastra dan ketua FLP)

"Tiga orang, satu peristiwa. Tiga motif, atu cinta. Sebuah kisah cinta segitiga dalam sejarah lama : menggugah rasaingin tahu, menegangkan, dan tentu saja, romantis."

(Rahim Asyik -- pengamat sastra dan wartawan Pikiran Rakyat)

Kisah Cinta yang Dibalut Peristiwa Geger Cilegon 1888

Jika novel Runtuhnya Menara Azan ini dikatakan romantis, saya kurang setuju. Novel ini sarat akan pembelajaran, lebih tepatnya. Unsur cinta-cintaannya hanya secuil bumbu penyedap yang menjadikan karya dari Yanti Soeparmo ini mau diraih dari rak buku oleh para penyuka kisah manis semacam Ka Acha.

Latar ceritanya pun bukan hanya berputar di tahun 1888 saja, masa ketika Mercusuar Cikoneng yang berada di Anyer belum lama dibangun. Momen orang-orang Belanda di Batavia lebih suka pelesir ke Anyer melalui jalan laut yang terhubung melalui pelabuhan Tanjung Priok.

Berselang 120 tahun kemudian, tepatnya pada tahun 2008, ada seorang di masa modern yang membawa kisah Adrian de Vries hadir lebih dekat. Tokoh itu bernama Abraham de Vries, keturunannya. Ia merupakan mahasiswa Belanda yang meneliti tentang peristiwa Geger Cilegon selepas jumpa dengan buku harian mlik leluhurnya, Adrian de Vries, di sebuah kotak kayu tua di rumah keluarga besarnya di Friesland.

Di Indonesia, Abraham de Vries tanpa sengaja dipertemukan dengan seorang gadis yang juga sama-sama menempuh jurusan sejarah. Sara Jasmina, namanya. Perjalanan mereka di masa modern, juga kisah yang tertuang dalam buku harian Adrian de Vries yang menjadikan Runtuhnya Menara Azan menghadirnya banyak catatan dan pengetahuan bagi pembaca.

Sudut pandang orang ketiga yang menjadi penyuara dalam novel ini, membawa saya melihat hampir seluruh isi pikiran para tokoh-tokohnya. Motif mereka bertindak pun begitu terasa. 

Terutama perseteruan sengit -- kalau enggan dianggap diskusi -- antara Bram a.k.a Abraham de Vries dengan Sara. Sudut pandang berbeda yang mereka peroleh melalui berbedanya buku-buku sejarah yang mereka lahap, pun rasa yang mereka bawa tentang berdiamya bangsa Belanda di tanah Indonesia. Seru dan ada percikan naksirnya. Di sini mungkin ya yang disebut "romantis" itu.

Sementara kisah antara Adrian dan Josefine juga Corrie, penuh teka-teki sekali. Kemudian ketika cinta itu dinyatakan, rasanya ... ya .... bagaimana ya Ka Acha menyebutnya? Apa memang orang-orang di masa lampau lebih "langsung" mengungkapkan suka jadi debarannya tak lekas menyemukan pipi saya?

Ah ... atau bisa jadi, memang selera saja sih ya. Bagi Ka Acha, kalau cerita cinta itu sudah sukses buat pembaca macam saya dag dig dug, baru deh saya sebut romants. Mungkin kalau buku ini dibaca olehmu, akan lain pula pendapatnya.

Kacamata Adrian de Vries yang Menghubungkan Segala Kekacauan Di Masanya Hingga Ke Masa Kini

Ada banyak poin yang Yanti Soeparmo narasikan dalam novel Runtuhnya Menara Azan dan akhirnya saya setujui. Makanya, bagi Ka Acha, novel ini masih sangat relevan untuk dibaca kaum muda di masa sekarang. Kalau bisa, kamu yang sedang duduk di bangku SMA mulai coba membacanya. Banyak materi di mata pelajaran sejarahmu yang terselip di sini.

Semisal, tentang UU Agraria. Di masa Ka Acha bersekolah, materi ini hanya dibahas selintas saja. 

Padat sekali pengetahuan yang dijejalkan ke dalam cerita. Terjalin menjadi bagian dari teka-teki yang Adrian de Vries akhirnya temukan jawabannya.

Bagaimana kemudian organisasi keagamaan terutama Islam, ditunggangi kepentingan. Dibangun sedemikian rupa atmosfernya sehingga selanjutnya hanya menyuarakan mengenai ritual ibadah dan begitu terus. Pemuka agama yang berhasil dialiri "suap", mencukupkan agama di ranah shalat, zakat, puasa, dan berhaji saja.

Seolah agama bukanlah pondasi untuk menjalani kehidupan diri dan bermasyarakat. Serasa politik hanya milik pemerintah, demi menjadikan kita semua enteng diperintah. Ada yang bertepuk tangan atas sempitnya pandangan begini sejak masa kolonial berjaya, ternyata.

Novel ini tegas menyampaikan pikiran-pikiran penulisnya. Termasuk penerapan pajak yang mencekik rakyat. Ide warisan dari masa bangsa Belanda memerintah di tanah air kita, rupanya masih dihadirkan di tengah masyarakat di tahun sekarang. Kamu, merasakan banget nggak sih?

Mungkin saja kamu akan seperti Ka Acha sepanjang melahap habis kisah Runtuhnya Menara Azan. Campur aduk perasaan saya dibuatnya.

Marah. Kecewa. Patah hati. Pengkhiatan dari orang-orang yang ingin melenakan para petinggi. Fakta yang diobrak-abrik demi "kehebatan" nan fana. Duh ... sampai bingung mau ngomel macam mana.

Bagaimana kaum pribumi -- inlander -- dengan santai diperlakukan layaknya orang-orang tak berbudaya di masa itu, apalagi kalau hidupnya sudah tak berdaya sedari mula. Poin yang selanjutnya mencipta pilu di jiwa Adrian de Vries terhadap orang-orang yang ditemuinya sepanjang menyamar, menjalankan tugasnya sebagai agen rahasia.

Sebagai pembaca, Ka Acha terseret pada pesan-pesan bahwa sejarah seringnya berulang. Serupa siklus melingkar. Persis yang pernah saya temukan dalam sebuah cerpen berjudul Sejarah Itu Bernama Anila dalam kumcer Sejarah Kematian dan Cinta yang Berdarah

Bila romansa yang dimaksud terbangun dalam novel ini benarlah tentang seseorang yang melihat dengan matanya, mendengar dengan telinganya, membaca dan mencerna segala yang terjadi di kesehariannya dengan jiwanya, maka saya sepakat kalau novel Runtuhnya Menara Azan itu romantis. Bukan hanya bagi Adrian de Vries, Josefine, Corrie van Kreiken, tetapi juga Bram dan Sara.

Runtuhnya Menara Azan sangat layak dibaca. Bagi kamu yang juga sedang mulai menjajaki novel sejarah Indonesia, semoga kelak kamu punya kesempatan berjumpa dengan novel yang menarik hati dan membawa saya membuat banyak anotasi ini. Aamiin paling serius. 





Komentar

  1. Aku mau cariiiiii buku ini 😍😍. Baca review-nya udah bikin tertarik mba. Sukaaa dengan cerita yg walau fiksi tp ada dikaitkan dengan kisah benar di zaman itu. JD menarik dan sebenarnya JD lebih mudah memahami sejarah yg terjadi.

    Tp pasti susah nemuin buku ini yaaa. Ntr mau cari di market place, cuma kdg hrs hati2, takut palsu

    BalasHapus

Posting Komentar