Buat Review Buku Terbitan Lama, Boleh Kan Ya?

Pandangan saya menyapu jejeran buku terbitan lamaan baru yang mendiami rak buku di salah satu sudut dinding di rumah. Sebuah pencapaian bertahun lamanya, setelah masa kecil saya diisi oleh sulitnya akses pada bacaan yang seru. 

"Nggak apa-apa kan, kalau blog Ka Acha didominasi review buku terbitan lama? Tapi kok kayak nggak ada yang mau mampir ya? Apa itu cuma perasaan Ka Acha saja?"

buku terbitan lama

Ada masanya pertanyaan ini bermain-main dalam benak saya. Riuh. Apalagi kalau bukan karena setiap kali menjelajah akun teman-teman book reader dan book reviewer lainnya, tayangan mereka seringnya buku-buku baru.

Saya kembali merenung. Bagaimana ya nasibnya buku terbitan lama yang sudah nggak banyak dilirik lagi sama pembaca? Apakah kalau memilih menulis pengalaman membaca dari buku lama begini, saya bisa ketinggalan jaman alias akun Ka Acha jadi nggak asik buat disambangi?

Apa ini ya alasan akun bacha santai yang selama ini saya kelola, sepi pengunjung? Atau, memang bahasan saya saja yang nggak seru untuk dinikmati pengguna media sosial lainnya? Atau ... memang nggak asik, karena isinya begitu doang, kayak catatan pribadi yang difungsikan untuk saya seorang?

Memangnya Kenapa Kalau Buku Terbitan Lama?

Saya menggeleng pelan. Berusaha menepis pikiran yang berpotensi membuat saya menjadi pesimis dan kemudian bisa berhenti membagikan lagi pengalaman membaca saya yang sudah saya niatkan selama ini. Alasan kuat yang membawa saya memisahkan akun utama dengan akun khusus pencatatan sejauh mana saya sudah berhasil menamatkan buku-buku to be read yang saya beli, atau yang dihadiahkan pada saya.

Bukankah sebuah bacaan nggak selalu menjangkau pembacanya di waktu yang sama? Bisa jadi, ketika buku itu sudah berhenti diperbincangkan, sudah hampir dipindahkan kembali ke gudang untuk diretur ke penerbitnya, kemungkinan ada saja pembaca yang belum menemukannya?

Ini bukan sih, alasan kunjungan ke gudang buku penerbit untuk membeli langsung buku-buku di sana, ramai didatangi para penyuka buku? Ini kan yang membuat buku lama di perpustakaan, bisa tetap dilirik dan dibaca orang?

Ya ... perenungan saya pada akhirnya sampai pada hal itu. Saya terbayang, bagaimana sebuah karya lama yang dulu sekali pernah dibaca pembaca, suatu waktu akan berjumpa dengan pembaca yang baru. Lalu diperbincangkan lagi. Dibahas dan diingat lagi.

Di lain sisi, ada juga kan, pembaca yang belum sama sekali terpapar sama pesona si buku tadi? Hingga tahunan berlalu, dia akhirnya bertemu lewat cerita orang lain tentang si buku tersebut. Sesuatu yang bisa dianggap "cara semesta memunculkan makna" baik bagi penulis, maupun pembacanya.

Baru Bukan Selalu Aktual Alias Gres Kan Ya?

Baru buat Ka Acha, belum tentu punya makna "baru" juga buat kamu. Begitu pula sebaliknya.

Bisa jadi, buku yang saya baca sekarang adalah buku yang dulu sekali sudah lebih dulu kamu tamatkan. Atau malah, buku yang baru kamu beli kemarin, rupanya sebuah buku yang bahkan sudah dialihwahanakan jadi film dan kamu sama sekali belum tahu.

Kejadian begini, belum lama terjadi pada saya. Suatu ketika, saya memeriksa kueri dari blog Taman Rahasia Cha ini. Curhatan saya tentang buku thriller yang saya baca, Girls in the Dark, tiba-tiba saja berada di posisi puncak pencarian. Payahnya, kebanyakan penjelajah di internet yang akhirnya mampir ke blog Ka Acha, bukan karena bukunya, tapi karena mencari filmnya.

Saat itu, saya terperanjat. Ujungnya, saya bertanya soal film Girls in the Dark yang merupakan hasil adaptasi dari karya penulis Jepang, Akiyoshi Rikako. Saya melempar bahasan itu di insta story di akun bacha santai. 

Lalu, apa yang Ka Acha temukan? Ternyata ... sesuatu yang baru buat saya, bisa jadi sudah usang buat orang lain.

Uniknya lagi dari hasil perbincangan itu, rupanya si teman saya malah sama sekali belum tahu kalau film tersebut adalah adaptasi dari sebuah buku. Tuh kan ... ternyata baru itu nggak selalu harus aktual atau gres. 

Buku-Buku Selalu Punya Momentum Spesial untuk Jumpa Pembacanya

Saya memilih bangkit. Lalu melangkat mendekati rak buku tadi.

Jemari tangan kanan saya menjelajah, menyentuh setiap buku yang berbaris rapi sesuai warna sampulnya. Ah ... entah bagaimana dulu, saya punya ide untuk menyusun koleksi buku yang saya punya, disesuaikan dengan warna sampulnya, bukan genre atau penulisnya.

Ketika sampai pada rak berisi buku-buku bersampul biru, telunjuk saya dihentikan oleh sebuah buku antologi yang memuat cerita perjalanan membaca saya. Buku Me, Myself, and Books (Ceritaku dan Buku). Sebuah karya bersama hasil kolaborasi dengan para penyuka buku lainnya. 

Saya diajak mengenang lagi cerita-cerita teman sesama pembaca yang akhirnya jatuh cinta pada dunia perbukuan ini. Setiap orang nggak selalu punya awal mula yang sama. Tiap individu dipertemukan dengan buku pembuka petualangan mereka yang berbeda-beda. 

Poin pentingnya. Bukunya nggak selalu buku terbitan baru yang banyak diperbincangkan di media sosial, atau mari kita sebut dengan buku viral. 

Bisa jadi juga kan, di suatu lokasi dimana entah, ada seseorang yang baru menemukan buku Life Traveler yang sudah sangat lama terbitnya itu, dan baru di tahun ini ia memulai travel personal story-nya berbekal kisah dalam buku di genggamannya tersebut.

Sebuah perjalanan yang persis seperti dalam kisah di buku Ted on Tuesday. Perjalanan Khalil keliling dunia, berbekal buku diary almarhum adiknya, demi menuntaskan impian besar sang adik. 

Hey .... bisa jadi, deretan buku yang Ka Acha sebutkan dalam artikel ini, belum pernah kamu temui kan? Atau mungkin hanya beberapa di antaranya. Atau bisa jadi, malah kamu punya referensi tambahan untuk saya.

Kalau begitu ... nggak apa-apa banget kan, kalau saya tetap menuliskan curhatan tentang pengalaman membaca saya dari buku terbitan lama? Semoga, Ka Acha nggak goyah lagi ya. Semoga tetap kukuh niat untuk berbagi pengalaman lewat tulisan review buku terbitan lama itu, baik di blog Taman Rahasia Cha, maupun di akun Instagram bacha santai.

Komentar