pada tanggal
Travel
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Setelah menamatkan novel Critical Eleven, Ka Acha baru menyadari kalau Ika Natassa sudah membangun sebuah dunia yang dinaungi banyak kisah dari keluarga Risjad. Dan pada novel bersampul biru langit agak kelabu ini, salah satunya karakter utamanya adalah bagian dari keluarga Risjad itu sendiri. Aldebaran Risjad, Ale, namanya.
Mungkin saja saya bukanlah pembaca militan dari buku-buku karya Ika Natassa. Namun satu hal yang saya sadari betul, karya beliau seolah langganan diadaptasi menjadi sebuah film.
Novel ini menjadi novel yang ketiga dari begitu banyak karya Ika Natassa yang akhirnya saya tamatnya. Pun saya bacanya nggak mengikuti urutan terbit dari setiap karya beliau pula. Lewat gaya bertutur beliau, saya dibuai, diajak masuk ke dalam sebuah dunia metropolitan berisi orang-orang dengan beragam masalahnya masing-masing.
Judul : Critical Eleven
Penulis : Ika Natassa
Editor : Rosi L. Simamora
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Cetakan : Kesembilan belas, Maret 2017
Tebal : 344 halaman
ISBN : 987-602-03-1892-9
Dalam dunia penerbangan, dikenal istilah critical eleven, sebelas menit paling kritis di dalam pesawat -- tiga menit setelah take off dan delapan menit sebelum landing -- karena secara statistik delapan puluh persen kecelakaan pesawat umumnya terjadi dalam rentang waktu sebelas menit itu. It's when the aircraft is must vulnerable to any danger.
In a way, it's kinda the same with meeting people. Tiga menit pertama kritis sifatnya karena saat itulah kesan pertama terbentuk, lalu ada delapan menit sebelum berpisah -- delapan menit ketika senyum, tindak-tanduk, dan ekspresi wajah orang tersebut jelas bercerita apakah itu akan jadi awal sesuatu atau justru menjadi perpisahan.
Ale dan Anya pertama kali bertemu dalam penerbangan Jakarta - Sydney. Tiga menit pertama Anya terpikat, tujuh jam berikutnya mereka duduk bersebelahan dan saling mengenal lewat percakapan serta tawa, dan delapan menit sebelum berpisah Ale yakin dia menginginkan Anya.
Kini, lima tahun setelah perkenalan itu, Ale dan Anya dihadapkan pada satu tragedi besar yang membuat mereka mempertanyakan pilihan-pilihan yang mereka ambil. Termasuk keputusan pada sebelas menit paling penting dalam pertemuan pertama mereka.
Diceritakan bergantian dari sudut pandang Ale dan Anya, setiap babnya merupakan kepingan puzzle yang membuat kita jatuh cinta dan benci kepada karakter-karakternya, atau justru keduanya.
"Membaca Critical Eleven? Tiga menit pertama yang menyenangkan, delapan menit terakhir yang mengesankan, dan hanya butuh kurang dari 11 detik untuk memutuskan bahwa ini adalah karya favorit saya dari Ika Natassa. Ika sebagai pilot, mengendalikan segalanya dengan sangat baik dan berakhir dengan super smooth landing. Impressive! I absolutely love this book! Romantic and uplifting. This book will successfully put a smile on your face and also make you think."
Ninit Yunita - Penulis
"Sebagai pencinta bandara tanpa tempat pulang yang tetap (dan benci terbang, seperti Anya), saya menemukan sekeping "rumah" di buku ini sejak halaman pertama. Ika bertutur dengan hangat dan memikat (dengan sentuhan yang "Ika banget") sehingga pembaca akan merasa dekat dengan sosok Anya dan Ale -- sesuatu yang menurut saya sangat penting dalam sebuah cerita. Satu lagi : novel ini harus dibawa sambil minum kopi. You'll know why!
Jenny Jusuf - Penulis & Scriptwriter
Usai menamatkan novel Critical Eleven ini, saya hanya sanggup menghela napas. Sebuah penghujung dari perjalanan tragedi besar dalam pernikahan Anya dan Ale yang cukup mengukir seulas senyum di bibir saya. Thats it. Just it.
Ya ... ending yang begitu bisa diterima dengan lapang dada. Bukankah begitulah seharusnya menjadi dua orang dewasa yang sudah sama-sama mencecap rasanya kehidupan berumah tangga?
Saya menyepakati kalimat penutup pada bagian blurb novel ini. Saya benci keduanya. Baik Ale dan Anya, mereka sama saja menyebalkannya.
Tingkah keduanya memanggil suara-suara rutukan dalam kepala Ka Acha. "Ih, apa-apaan sih si Anya? Drama banget sampe segitunya sama suaminya?". Atau di kesempatan lain, "Ya ampun Ale, kalau begitu bukannya kelar malah makin melebar masalahnya. Haish."
Hhh ... ok. Membaca Critical Elevem nggak seindah menikmati The Architecture of Love. Ck ... walaupun, ya sama saja ... tokoh di dalamnya ada juga gila-gilanya.
Tingkah dan arah pikiran Ale berkali-kali membawa saya memegang kepala. Saya ingin mengomel tentang betapa pikiran lelaki yang sudah jadi suami, terlalu sesederhana itu untuk memahami tingkah istrinya. Kenapa sih para kaumnya Bang Ale ini nggak bisa peka sama segala ruwet yang saling ikat-mengikat nggak karuan di dalam kepala perempuan? Paling nggak, kalau bingung, tanya pelan-pelan dan tetap jaga jarak aman.
Lalu, hanya dalam sentuhan fisik nan intim menggairahkan, Ale -- bisa jadi juga terpikirkan oleh para lelaki yang sudah jadi suami di semesta ini -- kalau istri yang mau diajak "olahraga malam" tadi, sudah usai marahnya. Selesai dengan segala kesal dan protesnya.
Padahal apa yang terjadi pada Anya? Belum sama sekali membaik perasaannya, Dears. Ckckck ....
In other hand, i hate Anya. Buat apa sih dia lari dari masalah segala dengan bertingkah sebegitu enggannya bicara sama Ale? Ya ... paham sih, tragedi besar mereka ini kehilangan bayi. Paham juga kalau celetukan Ale itu salah banget.
Ale dan Anya awalnya bahagia ketika Anya akhirnya hamil juga. Masa-masa gembira. Walau selalu ada momen long distance marriage karena memang Ale bertugas di off shore, komunikasi mereka lancar jaya.
Di masa itu, Anya bak ibu yang bersiap menggendong buah hatinya dengan buncahan bahagia. Anya rajin memeriksakan kehamilannya walau masih sering terbang sana-sini untuk urusan pekerjaannya. Anya selalu memastikan, dia nyaman, si janin aman.
Ale lain lagi. Ia bersemangat menyiapkan kamar untuk buah hatinya. Persis ayah yang penuh kesyukuran, menyiapkan ruang tumbuh terbaik bagi anaknya. Selalu berupaya jadi suami siaga walau raga memaksanya harus berada sejauh 24 jam penerbangan bila ingin memeluk Anya.
Sayangnya, takdir mengguncang keduanya. Takdir yang memutus segala koneksi mesra yang terbangun begitu lama.
Jadi ... apa sih pondasi dari rumah tangga itu sebenarnya? Ruwet untuk dijawab cepat, ternyata.
Satu pesan tersirat yang membawa saya mengagumi novel Critical Eleven karya Ika Natassa ini. Anya dan Ale berhasil mengunci masalah mereka berdua di dalam "kamar tidur mereka" saja. Sepasang orangtua mereka, termasuk adik dan ipar, dicegah untuk mengendus semuanya. Sahabat? Sekadarnya saja ketika sudah nggak sanggup dibendung sendiri lagi.
Sebuah pelajaran berharga yang pastinya susah luar biasa diterapkan di kehidupan nyata, apalagi kalau ego diri berkuasa. Tekanan demi tekanan yang harus diahan dan pasrah diterima, supaya orang lain di luar mereka berdua hanya memahami kalau keduanya tetaplah kompak mesra.
Terutama Ale. Lihat saja bagaimana ia sebagai abang tertua, mengalirkan begitu banyak nasihat baik bagi Harris Risjad yang notabene adik kandungnya, ketika bersiap menikahi kekasihnya, Keara. Iya ... Harris Risjad dan Keara dari novel Antologi Rasa.
Pilihan tepat menjadikan Ale dan Anya sama-sama punya "suara" yang berimbang dalam alur cerita Critical Eleven ini. Pembaca seperti Ka Acha jadi paham betul tentang upaya mati-matian keduanya ketika irisan demi irisan luka menyayat hati masing-masing sejak menyandang status sebagai ayah dan ibu, dari buah hati yang tiada di hari kelahirannya.
Saya mungkin enggan menyatakan kalau Critical Eleven jadi novel Ika Natassa yang paling saya sukai. Hey ... bukankah masih ada karya lainnya yang belum saya baca?
Kini saya paham, mengapa karya novel Ika Natassa banyak diadaptasi ke layar lebar. Novelnya terasa filmis sekali. Hhh ... nyaman sekali dibaca sampai akhir. And last, saya setuju kalau bacanya butuh ditemani minuman kesukaan. Sebab sepanjang membaca, saya seolah menyaksikan setiap tangisan Anya, dan sakit kepala ditambah air mata Ale yang tertahan.
Komentar
Posting Komentar