Tadinya
kupikir, aku akan duduk membisu semalaman sampai Argo Lawu menurunkan aku di
Stasiun Tugu. Tapi ternyata teman sebangkuku menyapaku lebih dulu. Bertanya
basa-basi sebagai perkenalan. Kulihat dia mengeluarkan sebuah buku dari dalam
tasnya. Ah, mungkin aku tak akan bicara hingga pagi datang. Sedikit terselip
rasa lega, karena aku memang tak terlalu nyaman berbicara panjang lebar dengan
orang yang baru kutemui di kereta jarak jauh. Mungkin karena kehidupan keras di
Jakarta dan Bogor yang menciptakan ketakutan itu.
Awalnya
dia hanya bertanya, aku akan kemana. Kurasa, tak ada salahnya jika kujawab
jujur saja. Namun ocehannya terus memanjang hingga menanyakan hobi. Oh baiklah,
tak masalah jika kusebutkan salah satu hobiku. Siapa tahu suatu ketika, setelah
aku menelurkan berbagai karya, dia mengenangku sebagai teman seperjalanannya.
Dia
menjabarkan begitu banyak sejarah aliran sastra padaku. Tak lupa dia
menyebutkan berbagai judul novel yang disukainya, juga penulis buku favoritnya,
Pramoedya Ananta Toer. Hmm, bagiku, semua hanya masalah selera. Apa aku salah?
Namun
koar-koarnya mulai mengusikku. Beberapa kalimatnya tak nyaman kudengar. Ah, tak
apa, semua hanya masalah sudut pandang. Sejujurnya, aku tak suka
mempermasalahkan banyak hal semacam itu. Memang benar kalau penulis di masa
Pujangga Baru dan kawan-kawannya terkesan lebih long lasting, tentu saja karena mereka berada dalam arus yang
sangat sastra. Sementara baginya, penulis di jaman sekarang lebih tenggelam
dalam dunia pop yang mengikuti trend, alay. Memangnya apa salahnya?
Hidup kan selalu berdampingan dengan sebuah pilihan?
Kuputuskan
untuk mendengar kisahnya lebih panjang. Deraan masa lalunya yang penuh kerja
keras, karena sebagai mahasiswa dia juga dipaksa untuk menjadi kuli bangunan,
pedagang, dan lain sebagainya yang begitu dekat dengan masyarakat kecil. Aku
semakn tertarik. Apalagi beberapa kali dia ikut bersinggungan dengan aparat
saat terjadi penggusuran lapak pedangan di sekitar Pasar Anyar Bogor. Hmm, apa
benar masa lalu –maksudku semua hal yang telah dilaluinya—mempengaruhi
pandangan hidupnya juga? Ya, itulah sebabnya setiap orang tak akan sepenuhnya
sama.
Dia pun berujar,
bahwa suasana kereta kelas eksekutif yang nyaman ini serupa pembunuh berdarah
dingin baginya. Di dalam gerbong ini tak ada suara penumpang yang mengorok,
pengamen yang mampir meminta perhatian, atau ayam-ayam kecil yang dibawa
penumpang, belum lagi AC yang terlewat dingin, serta makanan tak enak yang
ditawarkan oleh pramugarinya. Semua kenyamanan ini hanya ketenangan tanpa arti,
tak meninggalkan sedikit kesan manis. Ya, dari segala ceritanya, berbaur dengan
masyarakat menengah ke bawahlah yang paling menyenangkan. Itu pula yang
membuatnya lebih menghargai orang-orang yang down to earth.
Lagi
dan lagi, kutemukan makna bahwa semuanya hanya bergantung pada sudut pandang
yang tak sama. Artinya, setiap kritikan dan pandangan negatif, berakar dari
sebuah sudut pandang saja.
hehe,, betul sekali semua tergantung sudut pandang, aku suka naik kereta, apalagi yg eksekutif.. nyaman dan insya allah aman :p
BalasHapusArigatou, Nophi ^.^
BalasHapus